Hajib Zhulmi, Sarjana Agama Perguruan Tinggi Agama
swasta yang sudah tiga tahun berkeliling
dari makam ke makam sehingga digelari Sarkub oleh teman-temannya, telah sepekan
lebih sejak awal Ramadhan menjalani suluk
di Pesulukan Tarikat Akbar di Gunung Jabal Qaf. Berbeda dengan para salik yang
berlomba menjalankan ibadah wajib dengan
tambahan-tambahan ibadah sunnah yang ketat, Hajib Zhulmi lebih suka membaca
kitab-kitab tasawuf, tidur-tiduran, duduk tafakkur, mendengarkan Guru Sufi
memberi wejangan kepada para salik yang bermasalah dalam menjalankan suluk, dan
tiada lupa iktikaf di makam keramat Sayyid Rahmat yang terletak di lereng
gunung Jabal Qaf.
Malam ketujuh, sewaktu Hajib Zhulmi akan berangkat iktikaf di makam keramat, ia tiba-tiba
diminta untuk menghadap Guru Sufi di mushola yang lampu-lampunya dipadamkan
sehingga sangat gelap. Dengan merangkak dan meraba-raba lantai, Hajib Zhulmi
masuk ke mushola dan duduk bersila menghadap ke arah mihrab sambil mengucapkan
salam. Ternyata, Guru Sufi membalas salam tidak dari arah mihrab di depannya
melainkan dari arah samping kirinya. Hajib Zhulmi buru-buru beringsut menghadap
ke kiri. Namun Guru Sufi terbatuk-batuk dengan suara berasal dari arah mihrab.
Hajib Zhulmi terkejut dan buru-buru menghadap lagi ke arah mihrab.
“Kenapa arah kiblatmu selalu berubah-ubah, wahai Hajib,”
sahut Guru Sufi dengan suara berasal dari sebelah kanan Hajib Zhulmi.
Sadar ada sesuatu yang kurang benar dari laku suluknya,
Hajib Zhulmi membungkukkan badan dalam-dalam
ke arah mihrab sampai seperti bersujud. Dengan suara bergetar ia
berkata, “Murid mohon petunjuk romo kyai. Murid dalam kegelapan. Murid tidak
tahu arah.”
Guru Sufi terbatuk-batuk, suaranya terdengar dari arah belakang. Setelah itu suasana
hening. Beberapa bentar kemudian,
Guru Sufi berkata dengan suara berasal dari arah mihrab, “Malam-malam begini,
engkau hendak ke mana Hajib?”
“Mohon maaf romo kyai,” sahut Hajib Zhulmi dengan suara
gemetar,”Murid akan iktikaf ke makam Sayyid Rahmat di Puthuk Telu.”
“Darimana engkau tahu ahli kubur yang dimakamkan di Puthuk
Telu itu bernama Sayyid Rahmat?” tanya Guru Sufi.
“Katanya orang-orang begitu
romo kyai,” kata Hajib Zhulmi gelagapan.
“Bagaimana mungkin orang sudah menjalankan suluk memaknai
kebenaran berdasar kata orang,” kata Guru Sufi menyindir.
“Mohon petunjuk romo
kyai,” sahut Hajib Zhulmi menunduk makin dalam.
“Untuk apa engkau malam-malam ke makam?”
“Mau iktikaf romo kyai,” sahut Hajib Zhulmi sekenanya.
“Iktikaf di kuburan?” sergah Guru Sufi dengan suara
tinggi,”Apakah engkau pernah mendengar orang berniat iktikaf dengan berkata –
nawaitu iktikafi fi maqbara lillahi ta’ala?”
“Belum pernah romo
kyai,” jawab Hajib Zhulmi sekenanya.
“Apa yang engkau lakukan dengan iktikaf di kuburan?”
“Tafakkur dan wiridan
agar mendapat barokah dari keramat ahli kubur, romo kyai,” kata Hajib
Zhulmi ragu-ragu.
“Menurutmu apakah tafakkur dan wiridan di kuburan itu
amaliah wajib atau sunnah? Apakah menurutmu bersuluk itu tujuannya memperoleh
barokah dari orang yang sudah mati?” tanya Guru Sufi memburu.
“Mohon petunjuk romo kyai,” kata Hajib Zhulmi salah tingkah.
“Selama bersuluk di sini,” kata Guru Sufi minta
penjelasan,”Apakah engkau pernah melihat amaliah yang dilakukan
saudara-saudaramu selama bersuluk?”
“Ya, saya melihatnya
romo kyai,” kata Hajib Zhulmi gundah.
“Apa kira-kira yang dilakukan saudara-saudaramu?”
“Sembahyang tahajjud, sembahyang tasbih, sembahyang awwabin,
sembahyang isyraq, sembahyang hajat, sembahyang dhuha, sembahyang wajib lima
waktu, wiridan, puasa, membaca sholawat, membaca al-Qur’an, mujahadah,
muraqabah, dan ibadah yang lain,” kata Hajib Zhulmi menjelaskan.
“Kenapa engkau tidak melakukan amaliah ibadah seperti
saudara-saudaramu?”
“Maaf romo kyai,” sahut Hajib Zhulmi menguatkan
diri,”Bukankah amaliah ibadah yang dilakukan saudara-saudara saya itu amaliah
syariat? Padahal, suluk adalah laku tarikat.”
Guru Sufi tertawa diikuti hiruk tawa belasan orang di dalam
mushola. Hajib Zhulmi terkejut. Ia tidak menduga di dalam mushola ternyata
banyak orang. Itu sebabnya, sambil menunduk ia berkata dengan suara
merendah,”Mohon petunjuk romo kyai.”
“Kamu benar-benar sudah keliru memahami tarikat sebagai
tingkatan di atas syariat yang berkedudukan lebih tinggi, sehingga menjalani
tarikat sama maknanya dengan meninggalkan syariat,” kata Guru Sufi datar.
“Mohon petunjuk romo
kyai,” kata Hajib Zhulmi gemetar.
“Ketahuilah, wahai Hajib,” kata Guru Sufi menjelaskan,”Bahwa
dasar segala amalan ibadah adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah. Artinya, amaliah di
dalam suluk juga didasari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Tarikat tidak mengajarkan
untuk menjalankan suluk seorang salik harus meninggalkan syariat seolah-olah
tarikat itu tingkatan level tertentu.
Syariat bahkan sampai hakikat dengan dasar
tuntunan Al-Qur’an dan As-Sunnah
wajib dijalankan sebagai pedoman oleh seorang salik sampai kapan pun.”
“Mohon bimbingan romo kyai,” kata Hajib Zhulmi memohon.
“Bersuluk pada dasarnya
adalah mengamalkan Islam dengan sebaik-baiknya dan
sesempurna-sempurnanya, baik di dalam
sikap lahir maupun batin, termasuk memahami darimana ia berasal dan ke mana
hendak menuju yang disebut ‘sangkan paraning dumadi’, di mana ia akan memahami untuk apa ia dicipta sebagai
khalifah-Nya. Dengan memahami
keberadannya sebagai khalifah Sang Pencipta, maka ia akan melaksanakan
ibadah dengan sebenar-benarnya sebagai
khalifah. Ia akan sadar betapa setiap ciptaan-Nya memiliki cara berbeda dalam
beribadah sesuai fitrahnya masing-masing. Burung-burung dan gunung-gunung,
misal, semua bertasbih kepada Sang Pencipta.(Q.S.al-Anbiya’:79). Masing-masing
ciptaan memiliki cara beribadah yang khas. Dan manusia sebagai khalifah Allah,
memiliki keberbedaan dibanding makhluk lain di mana pada puncak pengabdiannya kepada Sang
Pencipta ia akan mengenal Penciptanya –
man arafa nafsahu faqad arafa robbahu.”
“Mohon bimbingan agar
murid beroleh kemudahan jalan dalam
menunju-Nya,” kata Hajib Zhulmi berharap.
“Bagaimana engkau bisa beroleh kemudahan jalan menuju-Nya
jika engkau tidak menjalankan ibadah-ibadah wajib dan ibadah-ibadah sunnah
selama bersuluk?” kata Guru Sufi dengan suara tinggi.
“Dengan menjalankan ibadah syariat seperti sembahyang,
puasa, dzikir, romo kyai?” tanya Hajib
Zhulmi ragu-ragu.
Guru Sufi tidak menjawab pertanyaan Hajib Zhulmi.
Sebaliknya, ia mensitir sebuah Hadits Qudsy yang diriwayatkan Bukhari,”Tidak
ada cara untuk ber-taqarrub dari seorang
hamba kepada-Ku yang lebih Aku sukai selain melaksanakan kewajiban-kewajiban
yang telah Aku fardhu-kan kepadanya. Namun hamba-Ku itu terus berusaha
mendekatkan diri kepada-Ku dengan melakukan ibadah nawafil (sunnah), sehingga Aku pun
mencintainya. Apabila ia telah Aku cintai, Aku menjadi pendengarannya yang
dengan Aku ia mendengar, (Aku menjadi) pengelihatannya yang dengan Aku ia
melihat, (Aku menjadi) tangannya yang dengan Aku ia memukul, dan (Aku menjadi) kakinya yang
dengan Aku ia berjalan. Jika ia memohon kepada-Ku, niscaya akan Aku beri dia, dan jika ia memohon
perlindungan-Ku, Aku benar-benar akan melindunginya.”
Hajib Zhulmi menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Ia
sadar bahwa segala yang dibayangkannya tentang laku suluk dalam tarikat
ternyata sama sekali salah tafsirnya. Itu artinya, ia harus mengulang dari awal
semua amaliah ibadah dalam bersuluk. Dan itu ia sadari bukan suatu amaliah
ibadah yang mudah.
by Agus Sunyoto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar