Kamis, 05 Desember 2013

Ketidaksanggupan Menanggung Murka Allah



     DUHAI sang jiwa (an-nafs) Mengapa aku melihatmu merasa tentram begitu saja, kegembiraan dan kesenangan telah menguasaimu. sementara gejala-gejala kemurkaan tampak tertuju kepadamu, dan tanda-tanda kernarahan Tuhan  sangat jelas terdapat dalam dirimu pada peristiwa-peristiwa yang kau alami?
Engkau begitu merasa tenang dan berdiam diri. Seringkali pengalaman-pengalamanmu tersita dengan kegembiraan dan kesenangan. Sedang engkau sendiri melihat gejala-gejala kemurkaan dari Allah pada dirimu, lalu engkau tidak menangisinya, dan —atas alasan itu— tidak merasa menderita, seolah-olah engkau sanggup menanggung kemurkaan Allah dan mengabaikan azab-Nya. Jauh... Jauh...
Dari antara yang selain Allah, engkau itu (hai jiwa) begitu lemah Bahkan pada bencana dunia yang paling kecil sekalipun engkau merasakan kepedihan. Maka bagaimana dengan dahsyatnya kemurkaan Allah dan perihnya siksa-Nya?
     
     Justru sanksi-sanksi Allah itu tidak dapat menghalangimu untuk merasa gentar, maka bagaimanakah Tuhan akan memperlakukan orang yang tidak tergetar akan kemurkaanNya? Tidak merasakan sakit akan kepedihan azab-Nya? Tidak memperbaiki tatakramanya kepada-Nya, dan tidak menghadap kepadaNya dengan melepas diri dari semua itu, sebagai ungkapan syukur atas kesinambungan nikmat-nikmat-Nya? Serta tidak tergetar dan bergegas kepada-Nya, tatkala melihat akibat-akibat buruk dan sanksi-sanksi-Nya di dunia secara khusus, kepada baik dirinya sendiri maupun keluarganya?
Celakalah engkau, wahai jiwa (an-nafs). Tidakkah engkau telah melihat sendiri, bahwa Tuhan Pelindung (Mawla)-mu telah menjauhkanmu dari apa yang dulu pernah diteguhkan dalam kalbumu — yakni, ketangkasan dalam kesiagaan, kokohnya kewaspadaan, kesinambungan dalam dzikir (mengingatNya), juga kegelisahan tatkala lupa akan DiriNya dan azab-Nya yang pedih?

     Allah pernah menyukai kalbumu pada saat-saat pertama dan cobaan Allah kepada dirimu dulu adalah pembelajaran untukmu, bentuk dan kedekatan (taqrib)-Nya denganmu dan kelembutan kasih-Nya kepadamu.
Maka, Dia memperingatkan kalbumu dari kelalaian-kelalaian. Melimpahkanmu dengan karunia yang terasa manis tatkala dalam ketaatan ... juga dahsyatnya ekstase spiritual (ladzdah) melalui munajat (kepada-Nya).
Kemudian tiba-tiba engkau berada pada jarak yang jauh dari Allah di pagi dan sore hari; terusir dari pintu-Nya, terlempar dari dekatNya: kehinaan dari-Nya telah menimpamu.
Engkau selalu berlarut-larut dalam kelalaian demi kelalaian yang membuatmu tidak bangkit untuk sadar. Kealpaan yang ada padamu terus berlangsung lama tidak menyadarkanmu, engkau berada dalam ketergelinciran (zallah) menuju ketergelinciran yang lain. Sehingga, kesedihan (karena dosa-dosa, pent.) tidak lagi menyelimutimu, tidak pula kegundahan hati (ghamm) ada lagi bersamamu, bahkan kewaspadaan yang bersamamu telah beralih, sehingga tidak lagi mampu menyadarkan dan memberimu peringatan.
Kemudian Dia memberimu penghalang (hijab), sebagai sanksi dari-Nya, dan penerimaan terhadap peringatan dan kepatuhan pada teguran ... Sehingga engkau terjerumus dalam keadaaan yang paling nista, yang kemudian diikuti dua keadaan: pengabaian yang berkepanjangan dan kelalaian yang berlarut-larut akan pengawasan dari Yang Maha Agung lagi Maha Perkasa, selanjutnya kecenderungan syahwatmu dalam keengganan pada penerimaan peringatan dan kepatuhan setelah teguran.

Keadaan yang pertama: kelalaian yang panjang akibat kurang peduli, bahwa Dia, Allah Swt. selalu mengamati dan mengawasi.
Keadaan yang kedua: kenekatan dan kelancangan kepada-Nya, sesudah adanya teguran dan peringatan, sampai-sampai ini memperlebar jauhnya jarak dari-Nya, dan menjadi penghalang bagi karunia keabadian di sisiNya.

     Apakah orang pernah mendengar kondisi yang lebih buruk lagi dan kondisi spiritual (hal)-mu ini? Dan adakah orang yang arif tahu yang lebih hina dan maqam (manzilah)-mu ini? Kemudian bersama-sama dengan perasaan sedih yang hilang darimu, kegundahan yang pergi menjauhimu, rasa sakit yang tidak lagi ada padamu, dan Tuhan Pelindungmu (Mawlaka) telah melihatmu sibuk dengan faktor-faktor (asbab) yang mendorong kepada kehidupan dunia — kebalikan dari semua itu, kesibukanmu akan dunia terus berlangsung.
     Engkau tidak pernah merasa jemu Engkau begitu bersemangat dan merasa memiliki kekuatan, jika engkau mendapat keuntungan yang lebih dalam kehidupanmu. Engkau merasa gundah ketika engkau melihat kekurangan, dan perasaan yang sama seperti itu tidak terjadi dalam hubunganmu dengan Tuhanmu, kecuali hanya sebentar saja. Engkau telah benar-benar tercela di sisi Allah, namun engkau tidak merasa mendapatkan bencana dengan jauhnya jarakmu dariNya.

     Engkau menjalani hari-harimu di pagi dan sore hari, padahal Dia tidak mempedulikanmu dan tidak mendekatimu. Engkau jauh dan dijauhkan dari-Nya. Andaikan tidak karena karunia ampunan-Nya kepadamu, niscaya Dia akan menarik nikmat agama darimu secara keseluruhan, namun Dia masih menyisakan, di samping sanksi hukuman danNya, karunia dan kebaikan. Oleh karena alasan inilah, cinta-Nya menyeluruh bagi semua manusia; yang taat maupun yang berbuat maksiat.
Celakalah engkau, wahai jiwa! Mengapa engkau begitu dalam dan tenggelam dalam ketidakpedulian dan lebih terjerumus dalam cobaan-cobaan duniawi (balaya)?
Celakalah engkau, wahai jiwa! Tahukah engkau, kepada siapa engkau berbuat maksiat? Pernahkah engkau berpikir, dari siapa engkau memalingkan diri?
Celakalah engkau, wahai jiwa! Engkau tidak jera dalam kelalaian, sehingga tidak membuatmu sadar, dan engkau selalu lupa, sehingga tidak membuatmu waspada.

     Bagaimana itu tidak berpengaruh kepadamu, sementara dalam keseharianmu engkau bukanlah yang sempurna (nuqshan), dan di setiap hari engkau tidak lekas-lekas mengelakkan diri dari perbuatan maksiat?
Jika engkau bertobat, belum sehari berlalu engkau telah mengulanginya lagi dengan kesalahan yang sama, dan engkau sekali lagi kembali dalam kebinalanmu. Jika engkau bertekad untuk tidak mengulanginya, engkau tidak benar-benar meninggalkannya. Jika engkau benar-benar melakukan apa yang telah menjadi tekadmu itu, engkau belum lepas dari kendala-kendalanya (afat) — yakni rasa pamrih agar mendapat pujian dan bangga terhadap apa yang telah engkau lakukan.
Engkau berjanji, namun tidak engkau tepati. Engkau bertekad, setelah itu engkau melanggarnya. Engkau bersumpah demi Allah, namun kau tidak memenuhinya. Jika engkau tidak tahu, itu menjadi alasan (hujjah) yang akan lebih meringankanmu dan dapat menjauhkan kemungkinan dan tuduhan berani kepada Mawla, Tuhan Pelindungrnu.

     Akan tetapi, alasan-alasanmu itu semakin menumpuk, bersama-sama kenekatanmu yang tak pernah jera, tatkala engkau adalah pelajar atsar-atsar (sunnah-sunnah) Rasul, penghafal al-Qur’an, termasuk yang mendiskusikan bidang-bidang yang detail dari ilmu hikmah, dan orator nasihat-nasihat yang bijak, dengan menyeru ke jalan Allah, sedangkan engkau endiri menjauhkan diri dari jalan itu, dan engkau memperingatkan manusia kepada Allah, sementara engkau sendiri melupakanNya, engkau mengagungkan-Nya hanya dengan kata-kata, namun dalam praktik engkau tidak mengagungkan-Nya.

di sadur dari tulisan Al-Harits Al Muhasibi  ; www.sufinews.com

Selasa, 30 Juli 2013

Cahaya-cahaya Watak Diri An-Nafsiyyah



Setelah tujuh hari khalwat di ruang al-Fath, pada tanggal 12 Ramadhan Mas Wardi Bashari keluar dengan wajah berbinar-binar memancarkan kegembiraan. Meski tampilannya kusut, namun wajahnya memantulkan suatu keluas-bebasan jiwa yang  tidak diberati  beban-beban yang menekan. Dan sewaktu menghadap Guru Sufi yang sedang  berbincang-bincang dengan para sufi dan salik di teras mushola, Mas Wardi Bashari mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga kepada Guru Sufi yang telah menunjukkannya ‘jalan’ Kebenaran yang haqqiqi kepadanya sampai ia menemukanNya. “Saya telah menyaksikan-Nya,  romo kyai. Saya telah sampai. Matur nuwun.”
Guru Sufi ketawa mendengar pengakuan Mas Wardi Bashari sambil memandang para sufi yang juga ketawa. Setelah itu, dengan suara lembut Guru Sufi bertanya,”Engkau telah menyaksikan apa? Engkau merasa telah sampai di mana?”
 
“Saya telah menyaksikan cahaya Kebenaran, romo  kyai,” sahut Mas Wardi Bashari menegaskan,”Saya telah sampai kepada-Nya. Saya sudah menyaksikan cahaya-cahaya aneka warna memancar dari qalbu saya. Saya tidak bisa menceritakan bagaimana cahaya-cahaya itu, tetapi keindahannya tidak bisa saya ungkapkan dengan kata-kata dalam bahasa manusia,” sahut Mas Wardi Bashari menjelaskan pengalaman ruhaninya.
“Apakah cahaya yang engkau lihat ada yang merah? Kuning? Kehitaman? Putih? Hijau bening seperti kristal?” tanya Guru Sufi memancing.
“Benar sekali, romo kyai,” sahut Mas Wardi Bashari masih tertegun-tegun dicekam pesona pengalaman ruhaninya,”Saya melihat cahaya kemerahan yang sangat menyilaukan memancar seperti kilatan petir dari kedalaman qalbu saya dan cahaya itu menyelimuti seluruh cakrawala. Apakah itu bukan cahaya-Nya?”
“Ketahuilah wahai sahabat, bahwa Allah kesucian dan keazalian-Nya diselubungi oleh tujuh puluh cahaya dan kegelapan. Syaikh Ahmad Rifa’i malah menyebut 70.000 selubung hijab cahaya dan kegelapan. Jadi jangan sekali-kali engkau menganggap jika sudah menyaksikan cahaya itu sudah sama dengan sudah melihat-Nya,” kata Guru Sufi menjelaskan.
 
“Tapi romo  kyai,” kata Mas Wardi Bashari berkilah,”Bukankah Allah itu  adalah cahaya langit dan bumi. Perumpamaan cahaya-Nya  adalah ibarat misykat. Di dalam misykat itu ada Pelita. Pelita  itu ada di dalam Kaca. Kaca  itu laksana bintang berkilau yang dinyalakan dengan minyak dari  pohon yang diberkati. Pohon zaitun yang bukan di Timur atau di Barat. Yang minyaknya hampir-hampir menyala dengan sendirinya, walaupun tidak ada Api  yang menyentuhnya. Cahaya di atas Cahaya! Allah  menuntun kepada Cahaya-Nya, siapa saja yang Ia kehendaki. Allah  membuat perumpamaan bagi manusia. Sungguh Allah  mengetahui segala sesuatu. (Q.S. AN-NUR, 35). Bukankah ayat Qur’an ini menunjukkan bahwa Allah adalah cahaya?”
 
“Ketahuilah wahai salik, bahwa Allah itu dalam haqqiqat meliputi satu kesatuan Asma’, Af’al, Shifat, Dzat. Apa yang terungkap dalam Al-Qur’an surah An-Nuur ayat 35 yang engkau sitir, tiada lain adalah ungkapan tentang Af’al-Nya menerangi dan meliputi langit dan bumi. Itu artinya, ayat Al-Qur’an itu mengungkapkan tentang Dia dalam iktibar bahasa yang bisa difahami manusia. Jadi jangan ditafsir-tafsirkan dengan akal pikiranmu, tetapi fahami dengan qalbumu.  Bukankah Rasulullah Saw sudah melarang kita untuk memikirkan Dzat-Nya?” kata Guru Sufi menjelaskan.
“Lalu makna Allah sebagai cahaya dalam ayat itu apa romo kyai?” tanya Mas Wardi.
“Asma’,  Af’al dan Shifat-Nya yang menyelubungi haqqiqat  Dzat-Nya yang tersembunyi dan terahasia,” kata Guru Sufi menjelaskan, “Dan ungkapan kata cahaya di dalam Surah An-Nuur: 35 itu jangan sekali-kali engkau anggap sama dengan cahaya yang engkau saksikan. Sebab Cahaya langit dan bumi yang dimaksud di dalam al-Qur’an itu tidak bisa disaksikan mata inderawi karena diselubungi beribu-ribu cahaya dan kegelapan yang menghijab-Nya.”
“Woo begitu ya romo  kyai,” sahut Mas Wardi Bashari mengerutkan kening,”Kalau begitu cahaya apa itu yang sudah saya saksikan memancar dari qalbu saya itu?”

 “Syaikh Abdul Jalil al-Jawy  menjelaskan bahwa pemahaman cahaya  (nuur ) itu mengikuti  limpahan anugerah yang memancar dari qalbu dan keadaannya mengikuti  kadar cahaya dalam  batinnya qalbu. Cahaya sendiri   beragam dan berbeda-beda: ada cahaya watak diri (an-nafsiyyah), ada cahaya akal (al-lubbu), ada cahaya ruh (ruhiyyah), ada cahaya qalbu (fawaid), ada cahaya titik hitam dalam qalbu (suwaidaa’ul qalb), ada pula cahaya batin yang terahasia (sirr), dan ada pula  cahaya rahasia di dalam rahasia batin (sirr al-asrar). Sirr al-Asrar itulah cahaya  yang paling agung dan paling sempurna,” kata Guru Sufi menjelaskan.
 
“Tapi bagaimana dengan perubahan-perubahan yang terjadi dengan cahaya-cahaya itu?”
Guru Sufi menjawab,”Tiap-tiap cahaya dari semua cahaya itu memang beragam dengan fungsi dan peran masing-masing sebagai selubung cahaya-Nya. Ketahuilah, bahwa di dalam kosmos (‘alam) senantiasa terdapat sesuatu yang bertentangan di mana yang bercahaya (nurani) selalu berlawanan dengan yang gelap (zhulmani). Dan ketahuilah, bahwa sesuatu yang gelap senantiasa berhubungan dengan sesuatu yang bersifat jasmani. Nah keragaman tiap-tiap cahaya itu berhubungan dengan tiap-tiap kegelapan yang menjadi lawannya. Demikianlah, masing-masing anasir cahaya itu eksis dalam keragamannya bersama kegelapan yang menjadi lawannya  sebagai hijab-hijab  yang menyelubungi rahasia Keberadaan-Nya.”
 
“Lalu cahaya aneka warna yang saya saksikan itu apa romo kyai?” tanya Mas Wardi Bashari ingin tahu.
“Itu adalah cahaya watak diri (an-nafsiyyah) yang memancar dari qalbumu,” kata Guru Sufi menjelaskan,”Cahaya merah adalah pancaran dari nafsu  ammarah (an-nafs al-ammarah). Cahaya kuning adalah pancaran dari nafsu sufliya (an-nafs as-sufliyyah). Cahaya kehitaman adalah pancaran nafsu lwammah (an-nafs al-lwammah). Cahaya putih adalah pancaran nafsu muthmainnah (an-nafs al-muthmainnah). Itu artinya, engkau sudah masuk ke dalam matra alam gaib (‘alam al-ghayb) dengan melalui ketersingkapan (kasyf) alam kecil (‘alam as-shaghir) dirimu sendiri. Itu berarti, pandangan batinmu (bashirah) yang tertutup karat jiwa (al-rayn)  telah mulai sedikit tersingkap.”
“Saya mohon petunjuk, romo kyai!” kata Mas Wardi Bashari memohon.
 
“Ketahuilah wahai salik, bahwa di balik ketersingkapan (kasyf)  pandangan batinmu (bashirah) itu masih cukup kuat peranan angan-anganmu (khayal) yang bersumber dari akalmu (‘aql) untuk memperlambat bahkan menghambat ketersingkapan (kasyf) yang lebih luas, sehingga engkau terhenti pada sekat (barzakh) yang mengantarai alam gaib dengan alam nyata,” kata Guru Sufi.
“Apakah gambaran-gambaran yang terbentuk dari cahaya-cahaya yang saya saksikan  itu adalah pantulan dari angan-angan (khayal) saya sendiri, romo kyai?” tanya Mas Wardi Bashari.
“Dalam cahaya merah engkau menyaksikan perwujudan harimau, kan?” tanya Guru Sufi.
“Benar sekali romo kyai,” sahut Mas Wardi Bashari,”Saya saksikan harimau itu sangat ganas. Meraung-raung kelaparan seperti ingin memangsa segala sesuatu yang ada di sekitarnya. Berarti, itu nafsu saya sendiri. Nafsu Ammarah. Dan perwujudan harimau itu sejatinya pantulan dari jiwa rendah saya sendiri, yaitu nafsu hewani (an-nafs al-hayawaniyyah) saya sendiri. Apakah seperti itu maknanya  romo kyai?”
“Itu benar demikian,” sahut Guru Sufi,”Cahaya kehitaman yang engkau saksikan hanya sekilas bukan?”
“Benar romo kyai, saya hanya sekilas menyaksikan cahaya kehitaman yang lenyap ditelan kumparan cahaya kuning yang sangat terang dan meliputi segenap cakrawala kesadaran saya.”
“Itu artinya, engkau bukan golongan manusia yang kemaruk harta benda dan tidak cukup kuat terikat dengan kehidupan duniawi. Artinya, engkau tidak punya bakat menjadi orang matre yang kikir, pelit, bakhil, medhit seperti Qarun,” kata Guru Sufi tegas.

 “Apakah setelah ini saya boleh khalwat lanjut ke ruang al-jihad?” tanya Mas Wardi Bashari dengan mata berbinar-binar diliputi kegembiraan dan harapan.
“Oo belum waktunya,” kata Guru Sufi datar,”Engkau justru harus pulang ke rumah dulu dan secepatnya menikah. Setelah cukup waktu hidup berumah tangga, engkau akan dipanggil untuk bisa memasuki ruang al-jihad.”
 
“Apa, pulang dan kawin?” Mas Wardi Bashari terhenyak kaget,”Saya sangat senang berada di sini, romo kyai. Saya sudah merasa tenang dan damai di sini. Kenapa saya harus pulang dan kawin?”
“Engkau belum bisa tenang secara paripurna, o Mas Wardi,” sahut Guru Sufi tegas, “Sebab jiwamu masih belum berdaya menghadapi kuasa nafsu sufliya yang sangat kuat memancar dari kedalaman jiwamu. Maksudnya, engkau masih banyak melewatkan waktu hidupmu dengan berimajinasi tentang hal-hal yang erotis yang merangsang syahwatmu. Justru itulah, nafsu sufliya yang masih kuat menguasaimu itu akan menjadi penghalang utama bagimu untuk melangkah ke tahap ruhani berikutnya. Jadi engkau harus melampiaskan terlebih dulu gelegak nafsu sufliya hewanimu lewat perkawinan yang sah menurut sarak.”
“Aduh benar sekali romo kyai,” sahut Mas Wardi Bashari dengan wajah tersipu malu, “Kilasan-kilasan bayangan erotis itulah yang paling sering mengganggu khalwat saya.”
 
“Jadi untuk mengatasi kendala itu engkau harus kawin dulu,” kata Guru Sufi ketawa.
“Waduh berarti masih jauh ya perjalanan yang akan saya tempuh untuk sampai kepada-Nya,” kata Mas Wardi Bashari kurang semangat.
“Memang masih jauh dan engkau harus mulai sadar itu,” kata Guru Sufi tersenyum, “Jangan sekali-kali engkau berangan-angan bahwa berjuang (jihad) menuju Dia itu sesuatu yang mudah dan instant dengan cukup berkhalwat 40 hari sudah sampai. Ingat-ingatlah, bahwa Rasulullah Saw berkhalwat di Gua Hira itu sejak usia 25 tahun dan baru menyaksikan Namus (Jibril) pada usia 40 tahun. Ada jedah waktu 15 tahun yang mengantarai khalwat Rasulullah Saw dari awal sampai ketersingkapan awal.”
Mas Wardi Bashari termangu-mangu mendengar penjelasan Guru Sufi. Ia faham bahwa selama ini telah keliru mengasumsikan laku ruhani sebagai sesuatu yang gampang dijalani akibat pengaruh buku-buku tentang sufisme yang sering dibacanya. Bahkan saat ia menyaksikan kilasan-kilasan cahaya nafsiyyah selama bermujahadah dan musyahadah  telah ia sangkakan secara keliru sebagai cahaya Kebenaran Ilahi.
 
 by Agus Sunyoto
Sumber : http://www.pesantrenglobal.com/cahaya-cahaya-watak-diri-an-nafsiyyah/#sthash.pmFwD3Vr.dpuf

Ketika Sarkub Keliru Memaknai Laku Suluk



Hajib Zhulmi, Sarjana Agama Perguruan Tinggi Agama swasta  yang sudah tiga tahun berkeliling dari makam ke makam sehingga digelari Sarkub oleh teman-temannya, telah sepekan lebih sejak awal Ramadhan  menjalani suluk di Pesulukan Tarikat Akbar di Gunung Jabal Qaf. Berbeda dengan para salik yang berlomba  menjalankan ibadah wajib dengan tambahan-tambahan ibadah sunnah yang ketat, Hajib Zhulmi lebih suka membaca kitab-kitab tasawuf, tidur-tiduran, duduk tafakkur, mendengarkan Guru Sufi memberi wejangan kepada para salik yang bermasalah dalam menjalankan suluk, dan tiada lupa iktikaf di makam keramat Sayyid Rahmat yang terletak di lereng gunung Jabal Qaf.
Malam ketujuh, sewaktu Hajib Zhulmi akan berangkat  iktikaf di makam keramat, ia tiba-tiba diminta untuk menghadap Guru Sufi di mushola yang lampu-lampunya dipadamkan sehingga sangat gelap. Dengan merangkak dan meraba-raba lantai, Hajib Zhulmi masuk ke mushola dan duduk bersila menghadap ke arah mihrab sambil mengucapkan salam. Ternyata, Guru Sufi membalas salam tidak dari arah mihrab di depannya melainkan dari arah samping kirinya. Hajib Zhulmi buru-buru beringsut menghadap ke kiri. Namun Guru Sufi terbatuk-batuk dengan suara berasal dari arah mihrab. Hajib Zhulmi terkejut dan buru-buru menghadap lagi ke arah mihrab.


“Kenapa arah kiblatmu selalu berubah-ubah, wahai Hajib,” sahut Guru Sufi dengan suara berasal dari sebelah kanan Hajib Zhulmi.
Sadar ada sesuatu yang kurang benar dari laku suluknya, Hajib Zhulmi membungkukkan badan dalam-dalam  ke arah mihrab sampai seperti bersujud. Dengan suara bergetar ia berkata, “Murid mohon petunjuk romo kyai. Murid dalam kegelapan. Murid tidak tahu arah.”

Guru Sufi terbatuk-batuk, suaranya terdengar  dari arah belakang. Setelah itu suasana hening.       Beberapa bentar kemudian, Guru Sufi berkata dengan suara berasal dari arah mihrab, “Malam-malam begini, engkau hendak ke mana Hajib?”
“Mohon maaf romo kyai,” sahut Hajib Zhulmi dengan suara gemetar,”Murid akan iktikaf ke makam Sayyid Rahmat di Puthuk Telu.”
“Darimana engkau tahu ahli kubur yang dimakamkan di Puthuk Telu itu bernama Sayyid Rahmat?” tanya Guru Sufi.
“Katanya orang-orang begitu  romo kyai,” kata Hajib Zhulmi gelagapan.
“Bagaimana mungkin orang sudah menjalankan suluk memaknai kebenaran berdasar kata orang,” kata Guru Sufi menyindir.
“Mohon petunjuk  romo kyai,” sahut Hajib Zhulmi menunduk makin dalam.
“Untuk apa engkau malam-malam ke makam?”
“Mau iktikaf romo kyai,” sahut Hajib Zhulmi sekenanya.
“Iktikaf di kuburan?” sergah Guru Sufi dengan suara tinggi,”Apakah engkau pernah mendengar orang berniat iktikaf dengan berkata – nawaitu iktikafi fi maqbara lillahi ta’ala?”
“Belum pernah romo  kyai,” jawab Hajib Zhulmi sekenanya.
“Apa yang engkau lakukan dengan iktikaf di kuburan?”
“Tafakkur dan wiridan  agar mendapat barokah dari keramat ahli kubur, romo kyai,” kata Hajib Zhulmi ragu-ragu.


“Menurutmu apakah tafakkur dan wiridan di kuburan itu amaliah wajib atau sunnah? Apakah menurutmu bersuluk itu tujuannya memperoleh barokah dari orang yang sudah mati?” tanya Guru Sufi memburu.
“Mohon petunjuk romo kyai,” kata Hajib Zhulmi salah tingkah.
“Selama bersuluk di sini,” kata Guru Sufi minta penjelasan,”Apakah engkau pernah melihat amaliah yang dilakukan saudara-saudaramu selama bersuluk?”

 “Ya, saya melihatnya romo kyai,” kata Hajib Zhulmi gundah.
“Apa kira-kira yang dilakukan saudara-saudaramu?”
“Sembahyang tahajjud, sembahyang tasbih, sembahyang awwabin, sembahyang isyraq, sembahyang hajat, sembahyang dhuha, sembahyang wajib lima waktu, wiridan, puasa, membaca sholawat, membaca al-Qur’an, mujahadah, muraqabah, dan ibadah yang lain,” kata Hajib Zhulmi menjelaskan.
“Kenapa engkau tidak melakukan amaliah ibadah seperti saudara-saudaramu?”
“Maaf romo kyai,” sahut Hajib Zhulmi menguatkan diri,”Bukankah amaliah ibadah yang dilakukan saudara-saudara saya itu amaliah syariat? Padahal, suluk adalah laku tarikat.”
Guru Sufi tertawa diikuti hiruk tawa belasan orang di dalam mushola. Hajib Zhulmi terkejut. Ia tidak menduga di dalam mushola ternyata banyak orang. Itu sebabnya, sambil menunduk ia berkata dengan suara merendah,”Mohon petunjuk romo kyai.”


“Kamu benar-benar sudah keliru memahami tarikat sebagai tingkatan di atas syariat yang berkedudukan lebih tinggi, sehingga menjalani tarikat sama maknanya dengan meninggalkan syariat,” kata Guru Sufi datar.
“Mohon petunjuk romo  kyai,” kata Hajib Zhulmi gemetar.
“Ketahuilah, wahai Hajib,” kata Guru Sufi menjelaskan,”Bahwa dasar segala amalan ibadah adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah. Artinya, amaliah di dalam suluk juga didasari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Tarikat tidak mengajarkan untuk menjalankan suluk seorang salik harus meninggalkan syariat seolah-olah tarikat itu tingkatan  level tertentu. Syariat bahkan sampai hakikat dengan dasar  tuntunan Al-Qur’an dan As-Sunnah  wajib dijalankan sebagai pedoman oleh seorang salik sampai kapan pun.”
“Mohon bimbingan romo kyai,” kata Hajib Zhulmi memohon.
“Bersuluk pada dasarnya  adalah mengamalkan Islam dengan sebaik-baiknya dan sesempurna-sempurnanya, baik di  dalam sikap lahir maupun batin, termasuk memahami darimana ia berasal dan ke mana hendak menuju yang disebut ‘sangkan paraning dumadi’, di mana ia  akan memahami untuk apa ia dicipta sebagai khalifah-Nya.   Dengan memahami keberadannya sebagai khalifah Sang Pencipta, maka ia akan melaksanakan ibadah  dengan sebenar-benarnya sebagai khalifah. Ia akan sadar betapa setiap ciptaan-Nya memiliki cara berbeda dalam beribadah sesuai fitrahnya masing-masing. Burung-burung dan gunung-gunung, misal, semua bertasbih kepada Sang Pencipta.(Q.S.al-Anbiya’:79). Masing-masing ciptaan memiliki cara beribadah yang khas. Dan manusia sebagai khalifah Allah, memiliki keberbedaan dibanding makhluk lain di mana pada  puncak pengabdiannya kepada Sang Pencipta  ia akan mengenal Penciptanya – man arafa nafsahu faqad arafa robbahu.”



 “Mohon bimbingan agar murid beroleh kemudahan  jalan dalam menunju-Nya,” kata Hajib Zhulmi berharap.
“Bagaimana engkau bisa beroleh kemudahan jalan menuju-Nya jika engkau tidak menjalankan ibadah-ibadah wajib dan ibadah-ibadah sunnah selama bersuluk?” kata Guru Sufi dengan suara tinggi.
“Dengan menjalankan ibadah syariat seperti sembahyang, puasa, dzikir,  romo kyai?” tanya Hajib Zhulmi ragu-ragu.


Guru Sufi tidak menjawab pertanyaan Hajib Zhulmi. Sebaliknya, ia mensitir sebuah Hadits Qudsy yang diriwayatkan Bukhari,”Tidak ada cara untuk  ber-taqarrub dari seorang hamba kepada-Ku yang lebih Aku sukai selain melaksanakan kewajiban-kewajiban yang telah Aku fardhu-kan kepadanya. Namun hamba-Ku itu terus berusaha mendekatkan diri kepada-Ku dengan melakukan ibadah  nawafil (sunnah), sehingga Aku pun mencintainya. Apabila ia telah Aku cintai, Aku menjadi pendengarannya yang dengan Aku ia mendengar, (Aku menjadi) pengelihatannya yang dengan Aku ia melihat, (Aku menjadi) tangannya yang dengan Aku ia  memukul, dan (Aku menjadi) kakinya yang dengan Aku ia berjalan. Jika ia memohon kepada-Ku, niscaya  akan Aku beri dia, dan jika ia memohon perlindungan-Ku, Aku benar-benar akan melindunginya.”
Hajib Zhulmi menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Ia sadar bahwa segala yang dibayangkannya tentang laku suluk dalam tarikat ternyata sama sekali salah tafsirnya. Itu artinya, ia harus mengulang dari awal semua amaliah ibadah dalam bersuluk. Dan itu ia sadari bukan suatu amaliah ibadah yang mudah.



by Agus Sunyoto

Selasa, 09 Juli 2013

Semut



        Ini kisah sekor semut yang berjalan sendirian terpisah dari kelompoknya. Ia ingin mencari pengetahuan yang  luas bagi dirinya.Cukup lama ia berjalan hingga tiba lah ia disebuah perpustakaan istana ..
Sang semut melihat begitu banyak orang membaca buku di perpustakaan itu. Dan kadang mereka berdialog tentang apa saja yang berhubungan dengan kehidupan dan mereka membahasnya dengan pengetahuan yang sangat mendalam sekali.
       
      Sang semut akhirnya tahu penyebab kenapa orang orang itu memiliki pengetahuan yang begitu luas adalah karena mereka  membaca buku buku itu . Sang semut pun kemudian berfikir bahwa buku buku itulah yang hebat bukan orang yang membacanya.karena sesungguhnya pengetahuan itu bersumber dari buku yang mereka baca.Sang semut kemudian berjalan lagi  dengan membawa kesimpulan itu. Sampai suatu ketika tibalah sang semut dirumah seorang ilmuwan yang sedang menulis buku.  Ia melihat pena yang menggores kan tulisan demi tulisan yang menjadi isi sebuah buku . dan sang semutpun kemudian berfikir bahwa sesungguhnya yang menjadi kan buku itu bermanfaat adalah kalimat yang ada didalamnya sedangkan yang membuat tulisan itu bisa nampak adalah pena yang menuliskan  kalimat dalam buku itu. Sang semut itupun kemudian beranggapan bahwa yang terhebat adalah pena. karena dari pena itulah muncul tulisan yang memuat pengetahuan.

        Kemudian sang semut melihat begitu banyak pena tergeletak dirumah itu…ia juga melihat seorang bocah kecil yang menggunakan pena  untuk mencoret coret sebuah buku..Coretan itu biasa saja..Sang semut kemudian kembali berfikir bahwa bukan sang Pena yang hebat tetapi tangan yang menggerakkan pena.
Sang semut kemudian merenung lagi bahwa sampai ia tahu bahwa bukan tangan yang menggerakkan pena itu yang hebat  melainkan akal yang menggerakkan tangan itu yang hebat.Dan Sang semut itupun kemudian mencari tahu siapa yang membuat otak itu hebat. .Dan Sampailah ia pada pengetahuan agung tentang sang Maha Pencipta.

        Setelah merasa cukup dengan apa yang ia pelajari pulanglah sang semut  kembali kesarangnya dan bertemu dengan  banyak semut semut lainnya.Betapa senangnya Ia setelah tahu bahwa sepeninggalnya begitu banyak pula semut  semut yang berjalan mencari pengetahuan . dan ada dari mereka yang telah kembali kesarang dan menyampaikan kepada masyarakat semut pengetahuan yang telah didapatnya selama pengembaraannya.Ia mendengar diskusi diskusi antar semut begitu banyak digelar dimana mana. Ada komunitas semut tertentu yang berpendapat bahwa yang hebat adalah sang buku. ada lagi yang berpendapat bahwa yang hebat adalah sang Pena bahkan ada pula yang berpendapat yang hebat adalah tangan yang memegang pena dan sebagainya.

        Terjadilah banyak diskusi  dan perdebatan dimana mana tentang itu semua. Sementara Semut tua yang telah berjalan begitu jauh itu hanya diam saja sambil tersenyum melihat itu semua. Karena baginya semua itu adalah sama benarnya sesuai dengan sejauh apa mereka berjalan sesuai dengan apa yang mereka temui. Apabila ia bertemu beberapa kelompok semut dan ia ditanya ia hanya akan menyarankan agar  mereka teruslah berjalan siapa tahu ada sesuatu pengetahuan yang baru yang bisa didapatkan.atau ia diam sambil tersenyum karena memang hanya dengan berjalan dan terus berjalanlah  pengetahuan itu akan didapatkan.

 By Cemut Cemut./april 2013/ dihamur.

Experience is the best teacher.